JNE Services: Connecting Happiness Between Two Generations



“Dunia ini sekarang milik orang muda. Kita yang sudah tua cuma bisa jadi penonton saja.” Ucapan Ayah ketika berbincang di telepon dengan Paman sore itu sungguh membuat hati saya terasa seperti dipelintir. Kala itu saya sedang menunggu kedatangan paket JNE berisi kiriman stok barang dagangan berupa seprai.

 

Sudah beberapa hari saya dan Ayah berselisih paham karena soal order dan pengiriman seprai ini. Kebetulan ayah saya memang termasuk salah satu orang yang masih menganggap ide berjualan online sebagai tindakan yang beresiko. Bahkan, mengetahui bahwa pihak yang menangani pengiriman itu adalah kurir sekelas JNE pun tetap belum bisa sepenuhnya meredakan kerisauan beliau.

 

Biaya-biaya Tak Berwujud (Intangible Cost) dalam Suatu Proses Transformasi Bisnis Digital

Perubahan memang selalu identik dengan ketidakpastian sehingga kerap membuat orang memandangnya dengan pesimis, curiga, bahkan antipati. Hal itu juga berlaku untuk proses transformasi digital yang telah mengubah berbagai aspek kehidupan masyarakat dewasa ini. Meski menjanjikan sejumlah peluang dan kemudahan, ada juga segelintir orang yang menganggap proses ini rumit dan membingungkan.    

 

Salah satu sektor yang banyak mengalami perubahan akibat proses transformasi digital adalah sektor ekonomi. Hampir semua pelaku usaha sekarang berlomba-lomba untuk menjadikan bisnisnya eksis di online marketplace demi meraih peningkatan omset dan profit. Namun, perlu kita ingat pula bahwa ada sejumlah harga atau biaya (cost) yang tentunya dibutuhkan untuk menyukseskan upaya ini.

 

Selain dana untuk melengkapi kebutuhan perangkat dan koneksi internet (tangible cost), ada pula jenis biaya lain yang tak berwujud (intangible). Contohnya adalah waktu dan tenaga yang perlu kita sisihkan agar dapat terus mengikuti perkembangan trend dan teknologi. Selain itu, intangible cost ini bisa juga berupa keharusan terlibat dalam adu argumentasi antar generasi, seperti yang saya alami.  

 

Re-fire Instead of Retire


Meski usianya sudah hampir 80 tahun, kondisi ayah saya secara keseluruhan relatif masih cukup baik. Hal ini memungkinkan beliau untuk tetap aktif berjualan di toko tekstil peninggalan Kakek yang telah dikelolanya selama hampir setengah abad.  Percaya atau tidak, bekerja adalah cara ayah saya untuk menikmati hidup.

 

Itulah sebabnya saya sangat sedih mendengar perkataan Ayah yang mengindikasikan bahwa beliau merasa terpaksa sudah harus pensiun. Apakah orang-orang tua – yang  sebenarnya masih penuh semangat dan dedikasi – betul-betul terpaksa harus berhenti berkarya hanya karena sulit mengikuti perubahan zaman? Saya sungguh menyayangkan hal itu.

 

Mengingat keberhasilannya mengelola toko tekstil peninggalan Kakek selama puluhan tahun, sejatinya ayah saya bukanlah orang yang mudah gentar menghadapi perubahan. Namun, transformasi digital kali ini nampaknya betul-betul membuat beliau kewalahan. Sejujurnya, jangankan Ayah, saya yang baru berusia 30-an pun sering kali merasa gelagapan mengikuti perkembangan zaman yang begitu dinamis.

 

Meski sudah berulang kali mendapat penjelasan, Ayah mengaku tetap sulit memahami cara kerja sistem online. Hal ini membuat beliau enggan berurusan dengan hal-hal yang berbau digital karena takut keliru dan menimbulkan masalah atau kerugian. Namun, mau tak mau Ayah pun harus mengakui bahwa sikap beliau ini berdampak kurang menguntungkan bagi bisnis keluarga kami.

 

Dampak tersebut makin terasa setelah sebagian besar kantor instansi dan sekolah langganan Ayah menerapkan sistem pembelian berbasis elektronik. Keengganan Ayah untuk berpartisipasi dalam penerapan sistem itu ternyata cukup menyulitkan para pelanggan untuk menyelesaikan administrasi pembelian di toko kami. Akibatnya, mereka terpaksa beralih ke toko lain dan omset toko kami pun menurun drastis.  

 

Melihat wajah Ayah kini sering muram karena tokonya sepi tentu membuat Ibu dan saya ikut sedih. Namun, kami juga tidak ingin mendesak Ayah untuk mengembangkan bisnis online itu jika memang belum mantap. Meski begitu, akhirnya terpikir juga oleh saya untuk mencoba membantu dengan cara berjualan seprai secara online.

 

Dulu toko tekstil kami memang sempat menjual produk tersebut, tapi kemudian mandeg karena terkendala soal pengadaan barang. Beruntung, dari hasil berselancar di dunia maya, saya berhasil menemukan grosir seprai yang tampaknya cukup bonafid dan membuka peluang reseller. Siapa tahu setelah melihat prospek dan kinerja usaha online itu dari dekat, Ayah bisa lebih terbuka untuk mengadaptasi sistem tersebut.

 

Awalnya Ayah memang menyambut positif niat saya untuk mencoba terjun ke sektor perdagangan. Menurut beliau, prospek menjadi wirausaha sama menjanjikannya seperti pekerja kantoran (profesi lama saya) maupun penulis (profesi baru saya saat ini). Namun, ketika tahu saya hendak mencoba berjualan secara online, respon Ayah sontak berubah.

 

Kali ini Ayah menekankan prinsip “ada uang, ada barang” yang selalu beliau pegang teguh dalam berdagang. Bagi Ayah, konsep belanja online yang meminta kita melunasi pembelian barang yang wujud dan pengirimannya belum pasti sangatlah beresiko. Sebaliknya, beliau juga tidak suka membayangkan harus menjual dan mengirimkan barang lebih dulu kepada pembeli yang belum tentu melakukan pembayaran.

 

Beradu argumen dengan orang tua yang sangat kita sayangi tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Namun, kali ini saya terpaksa harus bersikeras karena merasa kalau saya sendiri juga sedang perlu punya sumber penghasilan tambahan. Pasalnya, kemunculan teknologi kecerdasan buatan (AI) membuat profesi freelance content writer yang sekarang sedang saya tekuni mulai sepi orderan.

 

Saya mencoba memperlihatkan profil grosir seprai itu kepada Ayah, lengkap dengan katalog produk, skema order, dan testimoni reseller-reseller lainnya. Saya jelaskan bahwa barang akan dikirim oleh JNE, yang sudah terjamin kualitas layanannya hingga ke kota kediaman kami yang kecil. Saya juga berusaha memaparkan bahwa kita sekarang bisa memantau proses pengiriman tersebut dengan mudah melalui cek resi.

 

Bahkan, saya sampaikan pula pada Ayah kalau JNE baru saja memperoleh sertifikat  ISO 27001:2022 menyangkut Sistem Manajemen Keamanan Informasi. Jadi, kita tak perlu khawatir akan adanya penyalahgunaan nama, alamat, dan nomor telepon yang tercantum dalam data pengiriman. Hal ini tentu sangat krusial mengingat panasnya pemberitaan kasus peretasan Pusat Data Nasional belum lama ini.

 

Akhirnya Ayah berkata, “Terserah kalau kamu memang berani ambil resiko kehilangan tabunganmu yang belum seberapa itu untuk modal. Tapi, ingat, kalau sampai ada masalah, kamu harus menghadapinya sendiri. Ayah tidak bakal bisa membantu karena Ayah sama sekali tidak paham urusan semacam itu.”   

 

Mendengar nada suara Ayah yang keras, Ibu sempat mengusulkan agar saya mengurungkan niat. Namun, meski sebetulnya tidak ingin melawan nasihat orang tua, saya bertekad untuk tetap melaksanakannya. “Ayah, toh, tidak sepenuhnya melarang, Bu,” kilah saya, “Ayah cuma menyuruh saya memutuskan sendiri dan menurut saya inilah yang terbaik.”

 

Jadi, saya pun segera menyelesaikan semua urusan pemesanan dan pembayaran, lalu menunggu kedatangan paketnya. Saya juga tetap melaporkan progress pengiriman itu dari waktu ke waktu kepada Ayah, meski beliau menanggapinya dengan tak acuh. Sejujurnya, menurut saya jenis intangible cost yang satu ini adalah yang paling mahal karena menyangkut hubungan kita dengan orang terdekat.  

 

Peran Perusahaan Logistik dalam Mendukung Kelancaran Sistem Ekonomi Digital dan Kemajuan Masyarakat


Perusahaan penyedia layanan jasa kurir dan logistik memang bukanlah satu-satunya pihak yang menentukan kesuksesan jalannya sistem transaksi digital. Pihak penjual dan pembeli pun sama-sama bertanggung jawab menjaga kepercayaan satu sama lain. Namun, pihak kurir punya peranan penting untuk menyampaikan wujud bukti nyata dari kepercayaan itu kepada pihak yang berkepentingan.

 

Bukti kepercayaan saya akhirnya terwujud ketika sore itu, di tengah hujan, kurir JNE datang mengantarkan paket saya dengan wajah bersenyum. Melihat paket itu tiba dengan selamat dan tepat waktu, mendung di wajah Ayah pun tampak sedikit berkurang. “Semoga usahamu nanti lancar, ya, Nduk,” kata beliau singkat.

 

Saya mengaminkan doa Ayah dan mengangguk penuh terima kasih. Setelah sempat dua kali berpindah kerja dan akhirnya terpaksa banting setir ke dunia literasi, saya sungguh berharap usaha baru ini bisa berhasil. Apalagi jika mengingat saya sudah membayarkan intangible cost yang sangat mahal untuk memulainya.  

 

Hidup memang seringkali memperhadapkan kita pada situasi-situasi yang kurang kondusif sehingga kita terpaksa harus mau berubah dan terus berinovasi. Beberapa ide dan upaya kita barangkali bisa berhasil dengan cepat dan efektif, tetapi ada pula yang memerlukan waktu dan proses. Itulah sebabnya sangat penting bagi kita untuk memiliki ketekunan dan semangat pantang menyerah.  

 

Meski zaman terus bergulir, nilai-nilai dasar seperti kejujuran, kedisiplinan, dan rasa tanggung jawab sejatinya tidak akan pernah berubah. Nilai-nilai ini senantiasa penting untuk mendasari sepak terjang dan langkah-langkah pembaruan yang akan kita ambil ke depannya. Keteladanan ini ditunjukkan oleh JNE yang selalu berkomitmen menjaga kepercayaan pelanggan sembari terus berinovasi demi meningkatkan kepuasan mereka.

 

Selama 33 tahun lebih berkiprah di Indonesia, saya yakin PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir ini pasti pernah mengalami masa-masa sulit. Namun, ketika menghadapi era krisis akibat pandemi COVID-19 pun, perusahaan ini bisa tetap eksis, bahkan aktif mendukung kelangsungan berbagai UMKM. Di tengah kesuksesannya, JNE juga terus berinovasi hingga akhirnya merilis layanan pengantaran yang bisa sampai dalam satu jam (Roket Indonesia).

 

Mengamati sepak terjang JNE yang inspiratif rasanya tidak mungkin tidak membuat kita termotivasi. Saya jadi merasa sungguh-sungguh harus berupaya agar bisnis saya nantinya bisa memberi nilai tambah untuk masyarakat, termasuk membukakan pemikiran Ayah. Bukankah pepatah lama mengatakan bahwa “di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan”? Jadi, yuk, gas terus semangat kreativitas kita, Teman-teman!

#JNE#ConnectingHappiness#JNE33Tahun #JNEContentCompetition2024 #GasssTerusSemangatKreativitasnya  


Posting Komentar

0 Komentar