Angkatan Baru: Sebuah Ironi Mengenai Pendidikan, Khususnya Bagi Kaum Perempuan

 

Buku apakah yang sudah Teman-teman baca awal tahun ini? Kebetulan, belum lama ini saya baru selesai membaca buku “Angkatan Baru” karya Buya HAMKA.

 

Tema “Tahun baru, bacaan baru” untuk tugas bulanan dari komunitas yang saya ikuti membuat pilihan saya jatuh pada “Angkatan Baru”.

 

Selain judulnya yang “bernuansa baru”, saya kebetulan memang belum pernah membaca tulisan dari Buya HAMKA. Agak keterlaluan, ya?

 

Meski isinya sangat berbobot, buku ini ternyata cukup mudah dicerna (plus relatif tidak terlalu tebal).

Detail dan Sinopsis Buku “Angkatan Baru”


Judul               : Angkatan Baru

Penulis             : HAMKA

Penyunting      : Ratih Cahaya

Penerbit           : Gema Insani

Terbitan           : Januari 2016 (Cetakan Pertama)

Tebal Buku      : 90 halaman

ISBN               : 978-602-250-289-0

 

Sebagai seorang gadis lulusan sekolah menengah, Syamsiar merasa tidak patut baginya untuk mengerjakan soal remeh temeh layaknya tugas-tugas rumah tangga.

 

Menurut gadis itu (termasuk orang tuanya), ia hanya cocok bekerja sebagai guru dan kelak bersuamikan seorang pria yang sama terpelajarnya.

 

Akan tetapi, meski Syamsiar telah berhasil memperoleh kemewahan mengenyam pendidikan, ternyata realita hidupnya tidak lantas bisa berjalan seindah yang diangankan.     

 

Pembelajaran dari Buku “Angkatan Baru”



Membaca buku ini benar-benar terasa seperti sedang mengikuti penjelasan seorang pengajar mengenai suatu materi yang dicontohkan lewat sosok Syamsiar.

 

Kisahnya mengambil latar masyarakat Minang dengan alur yang bisa dibilang cukup sederhana dan sedikit dibumbui nuansa percintaan. 

 

Gaya bahasa yang digunakan memang bukanlah gaya bahasa yang populer, tetapi relatif cukup sederhana dan tidak terlalu sulit untuk dipahami.

 

Meski relatif tidak terlalu rinci, karakteristik para tokoh utamanya pun masih tergambar dengan cukup jelas dan mampu mendukung aspek cerita.

 

Tulisan Buya HAMKA ini terutama menyuguhkan sebuah realita yang sarat ironi mengenai pendidikan di masyarakat, khususnya menyangkut kaum perempuan.

 

“Dahulu anak-anak perempuan tidak laku karena bodohnya, sekarang rupanya tidak pula laku lantaran pintarnya.”  (Angkatan Baru – hal 12).

 

Demikian bunyi salah satu kalimat favorit saya yang tercantum dalam buku ini, yang rasanya sangat telak mengena.

 

Bukan tidak mungkin hal ini memang masih menjadi penyebab keengganan sebagian orang tua untuk menyekolahkan anak gadisnya terlalu tinggi.

 

Toh, ujung-ujungnya “tugas utama seorang perempuan” adalah menjadi seorang istri yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan anak-anak.

 

Paradigma masyarakat mengenai “tugas dan peranan perempuan” ini memang bukanlah hal yang mudah untuk serta merta diubah.

 

Namun, Buya HAMKA mengingatkan bahwa setiap pemuda (laki-laki maupun perempuan) bisa dan memang sudah selayaknya membuktikan manfaat mengenyam pendidikan.

 

Alih-alih menjadi takabur dan sombong, para pemuda ini wajib mengamalkan ilmu yang telah dimilikinya untuk kepentingan masyarakat.

 

Tidaklah patut jika gelar pendidikan itu justru disalahgunakan untuk meraih keuntungan dari orang lain (termasuk orang tua). Apalagi untuk menghindarkan diri dari “tugas remeh-temeh”.

 

Selain kelompok pemuda, Buya HAMKA juga mengingatkan para orang tua yang seringkali kelewat bangga pada anak-anaknya yang telah bergelar sarjana.

 

Sikap itu memang cukup bisa dipahami mengingat bisa mengenyam pendidikan tinggi acapkali masih merupakan sebuah kemewahan, bahkan sampai saat ini.

 

Akan tetapi, Buya HAMKA mengingatkan agar mereka tidak lantas silau terhadap anak sendiri sehingga sungkan untuk mengingatkan bila anaknya keliru.  

 

Buya HAMKA juga menyentil agar dunia pendidikan tidak lupa untuk juga menanamkan budi pekerti di samping keilmuan pada generasi muda.

 

Secara keseluruhan, buku “Angkatan Baru” sungguh cocok untuk dijadikan bahan perenungan dan pembelajaran di awal tahun.

Posting Komentar

30 Komentar

  1. Buku Buya Hamka selalu berbobot dan "bergizi" bgt yaa
    Sip siipp, kpn kpn mau aku baca jugaaaa ah
    Baguus ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kak. Tapi dibacanya tetap enak ternyata ya. Hehe. Yuk, baca.

      Hapus
  2. MasyaAllah, aku jadi penasaran bagaimana sosok Syamsiar dalam menjalani hari-harinya saat itu. Angkatan baru ini berarti angkatan perempuan terpelajar ya Mbak ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya begitu, Kak. Yuk, yuk, baca bukunya. Di Ipusnas ada lho. Hehe.

      Hapus
  3. Tulisan Buya Hamka bisa dipastikan dalam dan berbobot.. perlu dibaca nih full versionnya, khususnya buat saya yang punya anak gadis. Penasaran dengan konflik-konflik yang dialami Syamsiar, dan endingnya bagaimana. Terima kasih reviewnya mbak

    BalasHapus
  4. Wah menarik nih...harus jadi tbr nih...saya belum pernah baca buku buya Hamka mau nyari ah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga baru perdana ini baca bukunya beliau, Kak.

      Hapus
  5. saya suka dengan tulisan-tulisannya beliau, penasaran ingin membacanya, 90 halaman juga ya ga terlalu banyak, bisa selesai sehari dua hari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kak. Saya pilih baca buku ini juga karena nggak terlalu tebal. Hehe.

      Hapus
  6. Fenomena "tidak laku karena pintarnya" itu masih banyak terjadi hingga skrg lho... Banyak lelaki yang tidak suka "kalah" dari perempuannya. Btw, kukira buku ini isinya deskripsi teori yang jlimet, ternyata story telling ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuk, Kak. Saya pas baca kalimat itu juga merasa kalimatnya nyentil banget.

      Hapus
  7. Ya Allah realita yang menang terjadi pada masanya sampai hari ini. Masih jadi tantangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kak. Penulis menyajikan fenomena ini dengan cakep banget deh.

      Hapus
  8. Pas banget kalimat,"Dahulu anak-anak perempuan tidak laku karena bodohnya, sekarang rupanya tidak pula laku lantaran pintarnya."
    Sebelum nika banyak laki2 yang mendekat, lalu mundur karen pendidikan saya. Hersn juga, sih, apa takut tersaingi, ya? Padahal kan juga buat bekal mendidik anak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalimat itu juga berkesan banget buat saya, Kak. Fenomena ini kayaknya memang masih cukup dilematis sampai sekarang ya.

      Hapus
  9. Buku-buku karya Buya Hamkan memang selalu sarat makna dan edukasi ya Mbak. Memang benar, kenyataannya fenomena wanita berpendidikan yang dipandang sebelah mata masih terjadi di mana-mana. Penasaran dengan bagaimana Syamsiar akhirnya menjalani kehidupannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kak. Berbobot, tapi cukup mudah buat disimak. Yuk, yuk, cari tahu gimana akhir kisahnya Syamsiar.

      Hapus
  10. Terima kasih mba ulasannya bikin aku tertarik baca soal pemberdayaan perempuan ini dari Hamka.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kembali, Kak. Tema tulisan Buya Hamka memang bagus dan inspiratif ya.

      Hapus
  11. Bukunya menarik untuk dibaca. Apa buku ini dijual bebaskah Mba? Aku termasuk yang setuju kalau tugas rumah tangga tidak melulu kerjaan wanita. Ada pembagian tugas. Suamipun misaal tidak bisa membantu, minimal jangan ngomel ngomel, xixixi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi, betul, Kak. Suami istri yang bisa bahu membahu berbagi tugas rumah tangga kayaknya ok banget ya.

      Saya kemarin bacanya di Ipusnas, Kak. Jadi kurang tahu deh bukunya masih ada di pasaran atau nggak. Tapi mungkin bisa coba dicari aja, semoga dapat ya. Hehe.

      Hapus
  12. Ada Angkatan Baru berarti ada juga Angkatan lama. Saya jadi inget orde baru dan orde lama. Karya Buya Hamka pada bagus-bagus ya tulisannya. Masih related dibaca di zaman sekarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hampir senada ya istilah itu, Kak. Hehe. Betul, bukunya Buya Hamka memang berbobot dan relevan banget dengan kehidupan nyata.

      Hapus
  13. Buku Angkatan Baru menyajikan kisah perempuan dan kodratnya dari sisi laki-laki. Membuka mata kita semua sebagai orangtua untuk bijak mengajarkan tugas dan kewajiban yang sama rata bagi perempuan dan laki-laki. Bukan menuntut kesetaraan gender semata.

    BalasHapus
  14. bener juga, zaman dulu wanita dianggap sepele kalau sekarang dianggap terlalu tinggi pendidikannya dan lain-lain. pokoknya kalau berbicara soal perempuan pasti ada saja kontroversinya. penasaran pengen baca bukunya sepertinya berat tapi penuh pelajaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bikin dilema jadinya ya, Kak. Tema bukunya memang berbobot, tapi cukup ringan dan mudah dipahami kok, Kak. Nggak terlalu tebal pula. Hehe.

      Hapus
  15. Lumayan berat ya bacaannya ya Mbak. Tapi seimbanglah dengan manfaatnya. Kutipannya makjleb amat. Jadi kepikiran adik yang sekarang masih S2 dan hampir kepala tiga, namun belum menikah. Ortunya berpikir pendidikan menghambat jodoh. Semoga diberikan yang terbaik.

    BalasHapus
  16. Amin. Jadi perempuan kadang memang agak complicated ya, Kak.

    Tema buku ini memang berbobot, tapi menurut saya cukup ringan dan mudah dipahami deh. Kutipan yang satu itu memang asli makjleb banget.

    BalasHapus