Notebook: Sebuah Perjuangan yang Belum Usai

 

 



Judul               : Notebook

Penulis           : Tisa TS dan Kinanti WP

Penyunting   :  Muthia Esfand

Penerbit        : Sunset Road Publisher

Terbitan        : Juli 2021 (Cetakan pertama)

Tebal Buku   : 204 halaman

ISBN                978- 623- 6197-30-1


Ketika impian seorang anak kebetulan tidak sejalan dengan harapan orang tuanya, hal itu tentu akan menimbulkan konflik yang dilematis dalam diri si anak. Di satu sisi, ia ingin bisa mewujudkan mimpinya, tetapi di sisi lain juga tidak ingin membuat orang tuanya kecewa. Rintik merupakan salah satu yang mengalami dilema tersebut. Perempuan itu sudah berusaha berdamai dengan kenyataan bahwa ia harus menepikan cita-citanya menjadi guru dan menjalani karier serta rencana masa depan seperti yang diinginkan oleh ibunya. Namun, tak urung, hal tersebut tetap menyisakan sebuah ganjalan di hatinya. Maka, ketika suatu kali ia mendapat tawaran untuk menjadi guru pengganti di Sumba, Rintik pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu meski sang ibu sebetulnya keberatan.

 

Kedatangan Rintik ke Sumba ternyata disambut dengan berbagai macam respon oleh masyarakat setempat. Banyak yang menatap perempuan itu dengan penuh rasa ingin tahu karena penampilannya yang “berbeda”. Ada yang terang-terangan menentang, tetapi banyak pula yang menerimanya dengan tangan terbuka dan berharap ia akan kerasan di Sumba, salah satunya adalah Arsa. Pemuda setempat itu memang yang paling sering mendampingi Rintik selama menjelajah dan menyesuaikan diri dengan Sumba. Keduanya pun menjadi dekat, tetapi situasi dan kondisi sepertinya tidak memungkinkan mereka untuk bisa melangkah lebih jauh.

 

Bersama Rintik, buku ini mengajak kita untuk berpaling sejenak dari kehidupan di Jakarta ke sebuah pulau cantik di belahan timur Indonesia yang relatif masih jarang disambangi. Gambaran mengenai kondisi alam dan masyarakat Sumba yang masih amat natural rasanya akan cukup menggelitik minat kita untuk berkunjung ke sana.

 

Beberapa isu yang diangkat oleh kisah ini memang bisa dibilang relatif cukup sensitif, yaitu mengenai soal minoritas, perbedaan pandangan dan keyakinan serta pemerataan pendidikan di wilayah terpencil. Bahkan getar-getar asmara antara Rintik dengan Arsa, yang dibingkai oleh perbedaan pun termasuk salah satu di antaranya. Namun, semua itu dituturkan dengan amat halus dan cerdik, tanpa mengaburkan faktanya.

 

Perjuangan meraih cita-cita serta menyelaraskan perbedaan sepertinya memang masih merupakan pekerjaan rumah yang masih belum terselesaikan, bahkan bagi masyarakat modern saat ini. Hal tersebut seolah dimetaforakan oleh penulis melalui sosok Rintik, yang berpikiran maju dan berhasrat agar generasi muda dapat meraih cita-cita, tapi tak berdaya membela diri terhadap belenggu pemikiran masyarakat yang masih kolot. Mengesankan. Rasanya kata itulah yang akan tercetus dari bibir kita usai menuntaskan membaca kisah ini, pun setelah membaca kutipan yang dicantumkan sebagai sub judulnya: “Tidak semua perjumpaan dirancang Tuhan untuk bersatu”.

Posting Komentar

0 Komentar