From Toyland to Middle-Earth

 

“Kalau buat orang yang memang nggak terlalu hobi jalan-jalan kayak kamu, barangkali stay at home ini memang nggak bakal terlalu jadi masalah, Non. Toh biasanya kamu juga lebih suka diam di rumah sambil baca buku, kan? Tapi kalau buat yang tipikalnya outgoing kayak aku, asli, bosan banget, deh!” keluh salah seorang sahabat saya dulu, ketika pertama kalinya wabah virus Corona melanda tanah air dan pemerintah menghimbau masyarakat untuk lebih banyak berdiam diri di rumah.

Ucapannya itu membuat saya tercenung dan, mungkin untuk pertama kalinya, merasa sedikit bersyukur karena memiliki karakter introvert serta hobi membaca. Kedua hal tersebut memang bisa dibilang cukup memudahkan saya untuk berdamai dengan kebijakan pembatasan sosial yang diterapkan guna mencegah meluasnya COVID-19. Setidaknya, saya tidak perlu terlalu pusing mencari alternatif kegiatan untuk menghibur diri selama masa pandemi yang memenjarakan ini. Membongkar lemari buku dan bernostalgia dengan bacaan-bacaan lama sudah cukup untuk membuat saya kembali bersemangat dan merasa gembira.  

Tak dapat dipungkiri, munculnya wabah COVID-19 memang telah memicu perubahan yang cukup drastis dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Perubahan tersebut mencakup soal gaya hidup, cara berinteraksi dengan orang lain, serta cara beraktifitas dan mencari rejeki sehari-hari. Kendati tidak sampai kehilangan berat badan seperti yang sahabat saya alami, bukan berarti saya sama sekali tidak stres akibat situasi yang serba baru dan tidak pasti ini. Bahkan orang yang paling pemalu pun pasti tetap memiliki kebutuhan untuk bersosialisasi, bukan? Terlebih dengan bayang-bayang masalah ekonomi yang mulai menghantui, yang pasti akan membuat siapa pun takut dan khawatir. Bahkan, bagi saya secara personal, semua itu masih ditambah lagi dengan adanya krisis pribadi yang sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pandemi.

Tepatnya menjelang akhir tahun 2014 lalu, terjadi sesuatu yang membuat saya terpaksa mundur dari pekerjaan dan menunda rencana pernikahan. Ketika itu, hidup saya rasanya seperti jungkir balik. Hari-hari yang biasanya dipadati berbagai aktifitas serta tanggung jawab mendadak menjadi kosong dan menganggur. Interaksi sosial pun seketika berubah hambar. Patah hati dan kehilangan pegangan, saya sempat mengurung diri selama beberapa waktu sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit dan mencoba belajar menjadi penulis.

Meski sejak kecil tergolong kutu buku, sebenarnya saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk memiliki profesi di dunia literasi. Bahkan, sejujurnya, Bahasa Indonesia bukanlah mata pelajaran keahlian saya saat masih bersekolah dulu. Mendadak saya merasa seperti Noddy, salah satu tokoh dalam cerita anak karya Enid Blyton, yang tidak memiliki bekal apa-apa saat pertama kali pergi ke Negeri Mainan. Beruntung, ia bertemu dengan sahabat-sahabat baru yang dengan senang hati membantunya. Sama seperti Noddy, saya pun  sangat bersyukur karena bisa berkenalan dengan rekan-rekan dari komunitas menulis yang dengan murah hati memberikan bimbingan. Salah satu pesan utama yang mereka sampaikan adalah agar saya rajin-rajin membaca.   

Memiliki cukup banyak waktu luang selama masa krisis memang membuat saya lebih leluasa untuk mengulik kembali semua buku di dalam lemari. Genre bacaan yang saya miliki kebetulan lumayan beragam, mulai dari cerita anak, remaja, metropop, kriminal hingga fantasi. Hampir semuanya merupakan terbitan salah satu penerbit terbesar di tanah air. Jika dulu saya hanya membacanya sebagai seorang penikmat cerita, kali ini saya mencoba untuk mengamati buku-buku tersebut dari kacamata seorang penulis.

Rekan-rekan saya benar. Dengan banyak membaca, saya jadi bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang penerapan berbagai teori kepenulisan yang saya pelajari melalui pelatihan. Aplikasi teori itu tidak hanya bisa dilihat pada buku-buku “berat” seperti “Lord of The Rings” saja, tetapi juga dalam cerita-cerita anak yang sifatnya relatif lebih sederhana.

Teori tentang penokohan, misalnya. Meski keberadaan ilustrasi sudah cukup memudahkan kita untuk mengetahui tentang sosok “Noddy”, penulis tidak lupa untuk menggambarkannya sebagai karakter dengan kepala yang selalu mengangguk serta pandai menyanyi. Ciri khas unik ini membuat karakter Noddy lebih melekat di benak pembaca, sama halnya dengan Hobbit yang dideskripsikan dengan jauh lebih mendetail. Menurut saya, kedua cerita itu pada dasarnya menerapkan prinsip yang sama untuk menciptakan karakter yang kuat. Hanya saja porsi penyajiannya agak berbeda karena menyesuaikan dengan format dan target pembacanya.  

Berkat kegemaran membaca sejak kecil, saya juga jadi tidak terlalu canggung ketika mencoba menulis untuk pertama kalinya. Padahal ketika itu saya sama sekali belum pernah mengikuti pelatihan sama sekali. Saya hanya sekedar mengikuti pola dan gaya bahasa dari buku-buku yang sering saya baca. Meskipun tentunya masih sangat jauh dari contoh dan ada banyak kekeliruan yang perlu dibenahi, saya cukup bersyukur karena setidaknya sudah punya sedikit modal pengetahuan dan model untuk diikuti. Jika sebelumnya kita pernah mendengar slogan yang berbunyi “you are what you think” atau “you are what you eat”, maka dalam konteks kepenulisan, saya rasa, slogan itu bisa diadaptasi menjadi “you are what you read.”

Tak hanya soal teknis, buku-buku tersebut juga membantu saya untuk melakukan refleksi diri. Belum lama ini, saya iseng menyusun enam buah buku terbitan penerbit kesayangan dalam bentuk anak tangga. Buku-buku itu adalah “Noddy: Pergi ke Negeri Mainan”, kumpulan dongeng Enid Blyton berjudul “Tiga Anak Nakal”, cerita remaja “Semester Pertama di Malory Towers” (Enid Blyton), “Princess in Waiting” karya Meg Cabbot (teenlit), novel metropop “Critical Eleven” karya (Ika Natassa) dan cerita fantasi “Lord of The Rings: The Return of The King” karya J. R. R. Tolkien.

Mengamati keenam buku ini membuat saya kembali diingatkan bahwa segala sesuatu dalam hidup sejatinya memang selalu mengalami perubahan. Beberapa perubahan barangkali terjadi secara bertahap seiring bertambahnya usia, sama seperti halnya perubahan selera bacaan. Saat masih kanak-kanak dulu, kita mungkin masih hidup dalam dunia yang penuh imajinasi dan warna-warni. Konflik yang terjadi pun umumnya relatif sederhana dan bisa diselesaikan dengan mudah. Selera bacaan kita pun tentunya selaras dengan hal ini.

Beranjak besar, kita mulai diperhadapkan dengan “dunia nyata” dan diperkenalkan pada konsep baik-buruk, benar-salah, serta bisa-tidak bisa. Bobot konflik yang kita hadapi pun mulai sedikit bertambah. Kita kini tak lagi hanya bisa menikmati dongeng tentang para peri dan mainan, tetapi juga mampu menangkap pesan moral yang terselip di dalamnya.  

Menginjak remaja, semakin banyak perubahan yang terjadi pada diri kita. Konflik yang banyak kita alami pun mulai menyangkut soal pencarian jati diri serta tumbuhnya benih cinta pertama. Kita pun mulai tertarik dengan buku-buku yang mengangkat tema-tema tersebut.

Pada akhirnya kita memasuki usia dewasa dan memiliki pola pemikiran yang jauh lebih matang. Konflik eksternal dan internal yang kita hadapi pun sudah jauh lebih rumit. Selaras dengan itu, kita pun mampu berimajinasi dengan cara yang lebih kompleks, bahkan mungkin juga mampu mewujudkan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Setiap perubahan dalam masing-masing fase kehidupan ini merupakan proses yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih cakap serta dapat diandalkan.

Namun, sayangnya, tidak semua perubahan terjadi secara bertahap seperti itu. Beberapa bahkan terjadi secara serta merta dan tak terduga seperti pandemi ini. Perubahan semacam itu memang bisa dibilang jauh lebih berat karena kita sama sekali tidak punya persiapan untuk menghadapinya. Namun, seperti yang bisa kita amati dalam cerita-cerita inspiratif, semua konflik dan persoalan berat yang dialami oleh tokoh selalu membuatnya berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lagipula, kita semua tentunya percaya bahwa Penulis hidup kita adalah Pribadi yang Maha Kuasa, bukan? Ia tentu sudah menyiapkan solusi untuk setiap persoalan yang sedang terjadi. Kita hanya perlu sabar dan tabah sampai Ia membalik kisah hidup ini ke halaman selanjutnya.

Di masa pandemi yang cukup terasa memenjarakan ini, tentu tak ada salahnya kita sedikit berefleksi dan mencari inspirasi melalui buku. Bahkan meski yang kita baca adalah cerita fiksi, biasanya akan tetap ada nilai-nilai moral yang bisa diambil dan dipelajari agar kita menjadi orang yang lebih baik.

Secara pribadi, saya sangat berrterima kasih pada penerbit sekaligus toko buku kesayangan yang sudah setia menemani saya bertualang mulai dari Negeri Mainan hingga sampai ke Dunia Tengah.



(Sumber gambar: koleksi pribadi)

Posting Komentar

0 Komentar