A Game of Thrones (1) : Badai Salju di Sekeliling Tahta Besi


  {REVIEW BUKU}


#NgereadKuy

#KMC10


Judul            : A Game of Thrones

Penulis         : George R.R. Martin

Penerjemah : Barokah Ruziati

Penyunting  : Lulu Fitri Rahman dan Tim Redaksi Fantasious

Penerbit        : Fantasious (Phoenix Publishing)

Terbitan        : Juli 2015, cetakan ketiga

Tebal Buku   : 948 halaman

ISBN             : 978-602-0900-2





Selaras dengan judulnya, cerita ini menuturkan tentang intrik yang terjadi antar klan di negeri Tujuh Kerajaan dalam aksi perebutan tahta, yang dikenal dengan nama Tahta Besi. Tahta tersebut tadinya diduduki oleh Aerys Targaryen, sang Raja Gila dari klan kuno Targaryen yang berdarah naga dan memiliki semboyan Api dan Darah. Suatu perseteruan memicu Robert dari klan Baratheon untuk bangkit mengibarkan panji rusa jantannya, menggulingkan Aerys dan menghabisi keturunan Targaryen. Ia terutama dibantu oleh sahabatnya, Eddard Stark dari kastel Winterfell di utara, yang simbol klannya adalah direwolf sejenis serigala - kelabu dengan latar berwarna putih es.

Klan Targaryen berhasil ditaklukan dan hanya menyisakan sepasang pangeran dan putri, yang harus hidup dalam pelarian agar tidak ikut dibantai. Viserys, sang pangeran, sangat berambisi untuk merebut kembali Tahta Besi. Ia lantas mengatur agar adiknya, Daenerys, menikah dengan Khal Drogo, pemimpin bangsa penunggang kuda Dothraki, dengan harapan akan mendapat bantuan pasukan untuk melaksanakan niatnya.

Di sisi lain, Robert Baratheon, yang kini menggantikan Aerys menjadi raja, menyadari bahwa merebut Tahta Besi ternyata jauh lebih mudah dibanding mempertahankannya. Untuk menjaga kedamaian di Negeri Tujuh Kerajaan pun butuh kerja keras mengingat semua klan punya kepentingan sendiri-sendiri. Klan Lannister yang bersimbol singa bahkan dengan cukup kentara menunjukkan minat terhadap tahta dan Cersei, sang ratu, tampaknya punya rencana sendiri untuk mewujudkan hal tersebut. Pernikahan Robert dan Cersei Lannister memang lebih karena alasan politik ketimbang cinta. Eddard Stark sekali lagi harus berdiri di samping Robert untuk melindungi sahabatnya itu dari pihak-pihak yang mengincar posisi raja.

Intrik yang makin panas pun diwariskan kepada generasi anak-anak Robert dan Eddard. Pada akhirnya, perseteruan tak hanya melibatkan klan Baratheon, Stark dan Lannister saja, tapi juga semua klan di negeri Tujuh Kerajaan. Klan Tully, Arryn, Tyrell, Greyjoy, serta Martell terpaksa ikut mengangkat senjata untuk menempatkan orang yang tepat di atas Tahta Besi serta menjaga kedamaian negeri. Sementara itu di utara, di luar Tembok Besar yang dijaga oleh pasukan Garda Malam, merayap suatu bentuk ancaman misterius yang belum bisa sepenuhnya dikenali sumbernya.  Di sisi lain, masih ada Daenerys Targaryen yang tengah menghimpun kekuatan.

Kisah ini, menurut saya, merupakan contoh sebuah character-driven story yang sangat bagus. Alur ceritanya benar-benar bergulir maju dengan cara menuturkan berbagai peristiiwa yang dialami oleh masing-masing tokohnya, tapi secara keseluruhan masih tetap dirangkum dengan satu benang merah yang sama. Penulisan dilakukan menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan fokus yang berpindah-pindah dari satu karakter ke karakter lain. Konsekuensinya, jumlah karakter yang ditampilkan dalam cerita ini relatif cukup banyak dan membuat pembaca harus sedikit berkonsentrasi untuk mengenal serta mengikuti kisah mereka, terlebih karena beberapa karakter memiliki nama yang hampir sama.

Karakter favorit saya secara pribadi adalah Tyrion Lannister, adik sang ratu yang bertubuh kerdil tetapi cerdik dan memiliki selera humor yang menarik. Salah satu ucapannya yang paling berkesan bagi saya adalah: “Aku punya kesadaran realistis mengenai kekuatan dan kelemahanku. Pikiranku adalah senjataku … dan pikiran butuh buku seperti pedang butuh batu asah, jika ingin tetap terjaga ketajamannya.” – hal 126.  

Detail-detail latar dan peristiwa yang terjadi dalam kisah ini dituturkan dalam proporsi yang pas sehingga tempo cerita tidak jadi terlalu cepat ataupun terlalu lambat. Mengingat ada cukup banyak tindak kekerasan dan kebrutalan yang tercantum di dalamnya, menurut saya bacaan ini lebih cocok untuk konsumsi pembaca dewasa ketimbang remaja. Adegan baby shower suku Dothraki yang melibatkan acara makan jantung kuda yang masih segar sejujurnya cukup membuat saya berjengit dan bergidik. Meski begitu, saya sangat mengapresiasi cara penulis menuturkan adegan-adegan semacam itu sehingga tidak terkesan terlalu vulgar dan tetap bisa dinikmati.

Tema perebutan kekuasaan rasanya memang selalu menjanjikan intrik yang rumit dan menegangkan. Setiap babnya sungguh mampu memancing rasa penasaran untuk terus lanjut membaca. Jumlah halamannya yang relatif tebal pun tidak lagi menjadi masalah. Ending cerita ini bahkan membuat saya tidak sabar untuk segera membaca buku keduanya. 



Posting Komentar

0 Komentar