Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah: Kisah Bujang Berhati Paling Lurus dari Tepi Kapuas
{REVIEW BUKU}
#NgereadKuy
#KMC10
Judul :
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis : Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbitan : Agustus 2016, cetakan keempat belas
Tebal Buku : 512 halaman
ISBN : 978-602-03-3161-4
(Sumber gambar: dokumentasi pribadi)
Mengambil
latar kota Pontianak, buku ini mengisahkan tentang perjuangan seorang pemuda
Melayu bernama Borno (terinspirasi dari Borneo, tapi huruf ‘e’-nya sengaja
dihilangkan karena suatu alasan) dalam meraih cita dan cintanya. Ketika Borno berumur
12 tahun, ayahnya yang berprofesi sebagai nelayan mengalami kecelakaan saat melaut.
Jantung sang ayah lantas didonorkan oleh Ibu Borno, sesuai dengan wasiat
beliau, kendati Borno kecil sempat memprotesnya. Keluarga mereka pun tidak
meminta imbalan apa pun untuk tindakan mulia tersebut.
Setelah dewasa dan sempat
menjajal berbagai pekerjaan, Borno akhirnya mengikuti jejak kakeknya menjadi pengemudi
sepit (dari bahasa inggris speed), perahu
kayu bermesin tempel yang biasa digunakan untuk menyeberangi sungai Kapuas. Suatu
kali, ia menemukan sebuah amplop merah, semacam angpau, tertinggal di dasar
sepitnya. Borno curiga itu adalah milik seorang gadis berwajah sendu menawan,
salah satu dari rombongan yang menumpang sepitnya pagi itu, yang diam-diam
telah mencuri hatinya sejak pandangan pertama.
Kisah cinta Borno dengan si
gadis berwajah sendu menawan tersebut rupanya harus mengalami sederet
rintangan. Mulai dari sikap pemuda itu sendiri yang canggung dan malu-malu, kepulangan
si gadis ke Surabaya, keberadaan papa gadis itu yang serupa “satpam galak”,
sampai perubahan sikap si gadis yang begitu mendadak dan membuat Borno pusing
tujuh keliling. Apalagi ia pun tengah menghadapi masalah yang cukup serius
dalam pekerjaannya. Semua itu masih ditambah lagi dengan kemunculan seorang
gadis lain, yang tak kalah menawan, yang ternyata memiliki hubungan dengan masa
lalu Borno.
Setting lokasi cerita ini bisa dibilang cukup unik dan istimewa.
Ragam profesi yang ditampilkan pun sedikit tidak biasa. Penulis dengan amat piawai
melukiskan eksotisme kota Pontianak berikut keseharian masyarakatnya, yang
terdiri dari suku Melayu, Bugis, Dayak dan peranakan Tionghoa, yang hidup
berdampingan dengan rukun. Detail, tapi tidak membosankan untuk dibaca.
Gaya bahasa yang digunakan barangkali terkesan agak
klasik, tetapi tetap enak disimak dan justru terasa pas dengan latar waktu
yang, sepertinya, berkisar pada tahun-tahun sebelum ponsel meraja. Roman yang
disajikan, menurut saya, juga sangat pas. Sederhana dan menyentuh. Sikap gugup
dan salah tingkah Borno setiap kali berinteraksi dengan si gadis sendu menawan pun
kerap menjadi humor tersendiri. Dialog para tokohnya yang terasa sangat natural
juga seringkali menimbulkan rasa geli.
Dituturkan dari sudut pandang Borno sebagai orang pertama
barangkali cukup bisa menjadi alasan ada beberapa hal yang tidak dipaparkan,
baik secara tersirat maupun gamblang, dalam cerita ini. Perubahan sikap si
gadis sendu menawan yang cukup mendadak, misalnya. Atau kondisi ayah Borno
pasca kecelakaan yang memungkinkannya menyampaikan pesan-pesan terakhir, sebelum
akhirnya jantungnya didonorkan. Secara pribadi, saya justru sangat penasaran dan
berharap ada penjabaran lebih jauh tentang tokoh Pak Tua, pengemudi sepit
senior yang sudah seperti ayah bagi Borno, yang meski tampak bersahaja nyatanya
begitu kaya secara moril dan materiil, bahkan memiliki relasi yang luas. Beberapa
hal misterius tersebut tampaknya memang disengaja untuk memancing rasa
penasaran pembaca.
Ending kisahnya, menurut saya, cukup dramatis dan tak
terduga. Nilai-nilai kesederhanaan, ketulusan, kekeluargaan, persahabatan dan
semangat pantang menyerah tercermin dengan sangat apik dalam ceritanya. Ada dua kutipan yang amat berkesan buat saya
dalam cerita ini, yaitu:
“Sepanjang kau
punya rencana, jangan pernah berkecil hati.” – hal 282, dan
“Cinta selalu saja misterius. Jangan
diburu-buru atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri.” – hal 288.
Posting Komentar
0 Komentar